Tuesday, September 10, 2013

Monolog Pagi

Aku masih kuat melebur dengan hatiku, jadi kalau sedari awal dia berseberangan denganmu, Dear, berarti....kau tahu jawabnya masih sama, kan?

Iya kamu memang pahlawanku. Terima kasih untuk itu, Dear. Ragaku menyayangimu. Hanya saja hati dan otakku tak dapat mencandumu..

Tak pernah bermaksud jahat, Dear. Ingatlah bahwa sedari dulu aku menyuarakan ketidakterkoneksian kita. Suaraku itu isyarat.

Keras kepalamu itu lho, Dear.... Tapi baiklah, jalani saja jika kau menikmatinya dan percaya bahwa kita bisa berdampak baik satu sama lain -- seperti katamu.

Karena aku tahu kamu tak benar-benar tahu aku. Kita hanya sepasang luka yang menyelamatkan diri.

Maaf. Terima kasih. Teruntukmu juga, Love. Mari mengalir saja bersama semesta.

Wednesday, August 07, 2013

Dariku Untukmu

My Love, Tuan Penyusup.

Seperti yang pernah kubilang padamu, aku ini egois. Aku memanjakan keakuanku. Kurasa kita semua begitu, bukan? Berani taruhan dinikahi Rio Dewanto, kamu juga bukan manusia yang bahagia menolak bahagia, bukan?

Kuberi tahu, kamulah satu-satunya manusia yang pernah mematahkan ketidakpercayaanku pada mitos ‘love at the first sight’. Oke.. Kamu boleh tertawa, silahkan saja. Aku sendiri tergelitik pada kenyataan bahwa kamu bukan sosok selebriti atau pengusaha muda atau siapa lah yang sudah pasti tak bisa kuabaikan begitu saja di pertemuan pertama; kamu hanya seorang pria dengan tampilan berdaya tarik biasa saja, yang bahkan untuk berkomunikasi denganmu saat itu saja aku harus bersusah payah menyamakan frekuensi. Entah apa yang kulihat darimu senja itu. Tapi aku mendengar sesuatu. Dan kemudian merasakan sesuatu. Suatu getar yang membuatku yakin kamu ‘berbeda’ tapi aku tak tahu apa. Yang ketika ingin kuabaikan, getar itu semakin menujumu. Dan benar saja, memahamimu itu sulit. Mungkin kalau mudah, aku tak akan sejatuhcinta ini padamu. Ya.. Tak punya daya untuk tak jatuh cinta itu menyiksa, Love.

Aku tahu kita berseberangan. Pun aku sadar aku ini tak seberapa dan serba terbatas. Di sini aku dan segala keterbatasanku ingin mengenalmu dan keterbatasanmu. Ingin tahu apakah kita bisa meleburkan keterbatasan kita menjadi yang tak terbatas. Permasalahannya adalah aku belum juga tahu siapa yang kamu tuju. Belum juga tahu apakah kita melihat hal yang sama, hasrat yang sama, ketakutan yang sama. Kembali ke keakuanku. Demi segala hal random di tiap pembicaraan kita, sungguh aku menginginkanmu, Love. Setidaknya, pengakuanmu -- jika memang keadaan membuat kita tak bisa berjalan beriringan -- cukup bisa memudarkan abu-abu yang mengusikku selama ini. Jika kamu berkenan, pengakuan yang aku minta bukan sekedar ya atau tidakmu, tapi lebih dari itu mungkin beberapa teguk cappuccino dan beberapa potong waffle seperti saat senja itu bisa membantu mencairkan terka-tak-berarah kita selama ini. Setelah itu, seandainya kau memintaku untuk pergi, aku akan pergi. Ya, setidaknya saat itu kita sama-sama sudah tahu mana hitam mana putih.

Sekarang begini saja. Teruslah menulis -- meskipun bukan tentang aku -- jika kamu rasa berdua itu tidak baik. Setidaknya tulisanmu bisa sedikit melegakan keegoisanku akan dirimu. Karena tiap ekspresi kata-katamu bisa melayangkan imajiku terhadapmu, yang mungkin tak akan pernah nyata. Begitu saja, ini hatiku, terserah kamu, Love..


Pecandumu,

Tha.

Sunday, May 19, 2013

Tuan Penyusup

Bulan hidup.
Mata menutup.
Rindu meletup.
Rasa tak kunjung redup.

Relungku jadi tak cukup!

Sepi meraup.
Hasrat menguncup.

"Jangan ditutup!"
Bisik Asa sayup-sayup.
Dia memang layak tiup.

Kuat-kuat kuhirup.
Biar tercakup.
Masih sela setangkup.


Bilamana keberuntungan mengecup?
Saat bibir terkatup, nyawa tertelungkup?!

. . . .

Ah kau kejam, Tuan Penyusup.

Thursday, March 21, 2013

Gagu

Bahasamu kaku.

Ekspektasiku rancu.

Yang jelas aku cukup tau,
Menyeberang bukan langkah terbaikku.
Pun di sebelahmu.

Aku gagu.

Monday, March 11, 2013

Cerita Senja

Waktu menunjukkan kerapuhannya. Kuberi padanya setahun tapi tak bisa terlalu jauh ia menghapus goresan-goresan itu. Entah karena mereka terlalu bebal menempel di kertasku, atau karena, yah, memang si waktu yang tak cukup kuat melawan. Aku tidak pernah serta-merta menyerahkan sepenuhnya tugas itu pada waktu. Toh banyak cinta lain yang mencoba mengalihkan mata, banyak perhatian lain yang mencoba memeluk hati. Tapi tetap saja mata hati masih jauh memandang ke arahnya, goresan-goresan itu.

Sering kali aku tergoda untuk menulis di buku baru. Sering kali ingin aku sejenak, atau selamanya, meninggalkan buku lama penuh goresan khas itu. Tetapi tetap saja tak ada cerita yang terlalu menarik - entah otakku yang sudah dibuat kaku oleh euforia menulis di buku lama - atau mungkin aku terlalu menyukai kisah klasik dan selalu bermimpi untuk kembali ke dalamnya.

Lalu kuputuskan untuk tak terlalu ambil pusing, toh buku lama dan baru masih akan kusimpan, hanya saja aku tak bergairah menulis seperti sebelumnya. Pada akhirnya kuberikan lagi tugas kepada waktu. Tidak, tidak untuk menghapus goresan lagi, aku tak akan terlalu kejam lagi padanya, waktulah satu-satunya sahabatku kini. Tugasnya sekarang adalah untuk mengamatimu. Kamu yang membuatku bergairah menulis lagi. Dan suatu saat jika sahabatku - si waktu itu - berkata 'sudah saatnya', maka aku berjanji akan menurutinya. Kemudian jika dia menyuruhku untuk menulis lagi, aku percaya kamulah satu-satunya cerita yang paling menarik yang bisa aku gores nanti di buku baruku.

Berbaik-baiklah kamu pada sahabatku itu, ya. Karena dia sudah mulai menjalankan tugasnya. Ya, sejak kita berbagi cerita untuk pertama kalinya senja itu.
Sampai jumpa nanti :)