Thursday, March 29, 2012

Ada Rindu

Tertusuk malam
Terbunuh sepi
Lirih kunyanyikan.. Aku rindu
Terjebak jarak
Terbendung waktu
Lirih kunyanyikan.. Aku rindu
Angin malam, bersahabatlah..
Sampaikan rasaku padanya..
Bila cinta masih mampu
Menjaga segenap hasratku
Menata kenangan dan harapan
Berdua kan kita jelang masa depan
Namun bila ini
Hanya butir-butir mimpi
Genggam aku dan jadikanku
Mimpi terindah.. Di tidurmu


Lagu lama untuk someone special sih, sebenernya. Tapi entah kenapa lagu ini belum jadi aku tunjukkan ke dia. Mungkin karena dia belum pantas mendapatkannya. Hahaahh! (menghibur diri, red).

Semoga bisa segera masuk dapur rekaman yaa. Abal-abal juga gapapa lahh yang penting ngartis!! #ngok :P

xoxo
Tha

Wednesday, March 28, 2012

Awalnya

Namaku Tha. Di sini aku ingin membagi keluh kesahku, warna dalam keseharianku. Aku seorang wanita biasa yang menurut sebagian orang yang mengenalku, seperti buah strawberry. Mereka susah menebak kapan rasaku manis, kapan asam. Begitu pula dengan kehidupan percintaanku. Aku sendiri tak bisa menebak akhir yang seperti ini. Semua berawal dari sebuah komitmen.

Menjalin cinta selama empat tahun lebih tentu tidak mudah. Apalagi hampir separuh perjalanannya adalah hubungan jarak jauh. Awalnya aku bukanlah seseorang yang seperti dia, yang memiliki karakter dan prinsip yang kuat, tapi sekaligus orang yg fleksibel dan bijak dalam menghadapi segala sesuatu. Aku hanyalah seorang wanita yang senang dikelilingi banyak teman, easy going, seorang wanita yang haus mempelajari berbagai karakter manusia dan menyukai hal-hal baru yang unik. Tapi berita buruknya, aku juga seorang Gemini yang mudah bosan, plin-plan, susah mengambil keputusan. 

Tapi beberapa karakterku berubah sejak aku mengenal sosoknya. Herannya, perubahan itu terjadi justru bukan di saat-saat terindah kami. Saat-saat terburuk kami, saat-saat kami jauh dan berselisih paham, saat-saat itulah aku menyerap berbagai esensi, belajar, dan mulai kritis terhadap persoalan hidup di dalam dan di luar hubungan kami. Sementara, sosok keras kepalanya pun makin melunak seiring dengan sifat merendahkan diriku yang sebenarnya sangat sulit diaplikasikan jika aku sedang marah besar. Yah, tak ada yang tak mungkin memang. Proses belajar itu pun terasa sangat menyenangkan, walaupun sebenarnya berat. 

Tiga tahun pertama adalah tahun penuh penyesuaian, baik secara watak, maupun penyesuaian dengan keluarga besar masing-masing. Tahun ke-empat aku merasa semuanya semakin siap, masing-masing keluarga sudah semakin menerima. Dan bebanku dan dia justru semakin berat. Dia, dengan usianya yang menginjak usia matang dan merupakan satu-satunya anak lelaki yang belum berkeluarga di tengah keluarganya, tentu saja semakin dikejar ‘deadline’ untuk segera—setidaknya—meresmikan hubungan kami dengan sebuah ikatan pertunangan, dan kemudian menikah. Sementara aku, anak perempuan pertama di keluargaku, masih kuliah dan menyelesaikan skripsi, dituntut untuk segera lulus dan kemudian bekerja untuk setidaknya menghidupi diri sendiri dan adikku yang juga masih kuliah mengingat kondisi orang tua yang sekarang sudah menjadi pensiunan. Kami berdua dituntut untuk memikirkan tuntutan diri sendiri dan pasangan masing-masing. Maka, jalan satu-satunya adalah aku yang harus mempercepat studiku. Itu teorinya.